Wanna Be A Citizen Journalist

Dimas Ferdiandhika
210110080232


Kalau acara 13 model terpilih yang di maskotin oleh Tyra Banks punya tag line “Wanna Be On Top!”. Dunia maya, tulisan ini sekarang juga sudah mempunya tag line sendiri yang tidak perlu di ungkapkan, yaitu , yaitu “Wanna Be A Citizen Journalist!”.

Kenapa saya memilih tag line dari acara modeling terkenal itu. Karena menurut saya, kedua hal itu mempunya kemiripan. Kalau di acara model itu, para model itu tidak perlu bersekolah model dahulu untuk menjadi model, asalkan punya bakat bisa dan bisa bergaya, langsung bisa menjadi seorang top model. Kalau mengenai citizen journalist, anda tinggal mempunya hobi menulis, dan mempunyai jaringan internet dimana saja melalui apa saja, anda sudah bisa menjadi seorang jurnalis terkenal, layaknya para jurnalis yang memang sudah menekuni dunia jurnalis di perguruan tinggi.

Pada dasarnya, citizen journalism adalah sebuah kegiatan yang sama dengan jurnalis konvensional (sebutan untuk jurnalis yang memang tugasnya jurnalis). Yaitu mengumpulkan data, mengolah, dan menyebar luaskan kepada khalayak umum. Tetapi yang membedakan adalah, citizen journalist lebih kepada masyarakat umum yang melakukannya tanpa terikat dengan suatu badan perusahaan tertentu. Medianya biasanya berupa media online yang sudah sangat mudah disentuh oleh masyarakat umum. Hukumnya pun masih tidak seketat hukum pers pada lembaga media.

Tetapi, banyak sudah yang menjadi terkenal karenanya, dan sudah memiliki khalayak sendiri. Contohnya Amelia Masniari dengan ikon Miss.Jinjingnya yang memberikan berita terbaru soal masalah fashion, atau Raditya Dika, dan para jurnalis lainnya yang sudah cukup terkenal di dunia blog (Media yang sering digunakan oleh para citizen Journalist). Serta mungkin yang paling mudah diingat adalah, seperti peliput Tsunami Aceh yang merupaka korban dalam bencana tersebut.

Hal ini diakibatkan juga oleh perkembangan teknologi yang mengakibatkan banyaknya jejaring-jejaring sosial, blog-blog umum, dan sejenisnya, yang mengakibatkan perkembangan dalam dunia jurnalisme berubah. Terkadang ada yang menggunakan facebook dalam memberitakan sesuatu, atau mungkin twitter yang banyak sekali disinggung banyak orang. Kalau menurut beberapa orang, hal ini lah yang disebut demokrasi, bebas berbicara di depan umum segala masalahnya.

Tidak sampai disini saja, ternyata kebebasan ini terjegal juga oleh Undang-undang ITE yang dibuat pemerintah untuk melindungi para pengguna media ini. Akan tetapi, seperti yang masih hangat-hangatnya, masalah Prita dengan rumah sakit OMNI adalah gambaran bahwa Undang-undang ITE perlu di benahi karena bisa terjadi kesalahan tafsir. Apalagi jika terkena rakyat yang benar-benar kecil, seperti kisah seorang nenek yang mencuri 3 kokoa. Hal ini sangat miris. Seolah-olah hukum hanya untuk orang besar yang memiliki uang.

Tetapi tentu saja, hal ini tidak menyurutkan para citizen journalism, apalagi dengan bertambah banyaknya yang menjadi Citizen Journalism, yang berbaik hati dengan gratis memberi informasi yang menarik terhadap masyarakat umum. Hal ini sebagai pelajaran para jurnalis tersebut untuk berhati-hati dalam menulis suatu berita atau apapun juga. Apalagi setelah keputusan hakim bahwa Prita di bebaskan dari tuduhan RS OMNI, yang menandakan bahwa kita masih bebas dalam memberitakan sesuatu kepada khalayak umum, asalkan sesuai fakta yang kita miliki.

Efeknya untuk Jurnalis Konvensional adalah tidak ada malah sangat terbantu dengan adanya Jurnalis Citizen, yaitu akibat terkadang pemberitaan Jurnalis Citizen lebih mendalam dan lebih dekat dengan masyarakat pada umumnya (contohnya seperti saya ungkapkan sebelumnya, warga yang merekam kejadian Tsnunami di Aceh). Untuk bersaing dalam perebutan khalayak, tidak terjadi, karena setiap media mempunyai khalayaknya sendiri-sendiri, tinggal kita sebagai calon jurnalis atau pembacanya yang bisa memilihnya.

No comments:

Post a Comment