Pro Kontra Citizen Journalism

Agne Yasa
210110080012

Wartawan secara sosiologis merupakan delegasi masyarakat untuk mengaktualisasikan hak tahu dan hak memberitahukannya dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya internet. Warga bukan lagi sekadar konsumen pasif dari media, bukan hanya sebagai objek berita tetapi mereka juga menciptakan media sendiri, mereka juga bertindak sebagai subjek berita. Munculnya blog, jurnalisme online, jurnalisme warga (citizen journalism), jurnalisme komunitas (community journalism) dan media alternatif adalah bukti dari masyarakat yang aktif, melalui media tersebut, warga dapat menyumbangkan pemikiran, opini, berita, dan sebagainya.

Kegiatan jurnalisme didefinisikan seputar aktivitas mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan berita. Citizen journalism pada dasarnya melibatkan kegiatan seperti itu. Hanya saja, kalau dalam pemaknaan jurnalisme konvensional, yang melakukan aktivitas tersebut adalah wartawan, sebagai delegasi masyarakat, kini publik juga bisa ikut serta melakukan hal-hal yang biasa dilakukan wartawan di lembaga media.

Citizen journalism adalah istilah yang muncul karena perkembangan teknologi yang ada. Ada dua hal setidaknya yang memunculkan citizen journalism seperti sekarang ini. Pertama, komitmen pada suara-suara publik. Kedua, kemajuan teknologi yang mengubah tatanan modus komunikasi. Kegiatan citizen journalism intinya adalah masyarakat menjadi objek sekaligus subjek berita. Di Indonesia, istilah yang dimunculkan untuk citizen journalism adalah jurnalisme partisipatoris (membebaskan) atau jurnalisme warga.

Tetapi, sebagai sebuah hal yang bisa dikatakan baru dalam dunia komunikasi massa, citizen journalism tentu menimbulkan pro dan kontra. Citizen journalism belum bisa masuk dalam ranah journalism (jurnalisme) bila dilihat dari sisi yang kontra tapi jika dilihat dari sisi yang pro, maka citizen journalism sudah dapat dikatakan kegiatan jurnalisme karena melakukan hal-hal yang merupakan kegiatan jurnalisme. Keberadaannya dalam ranah jurnalisme memang masih menjadi pro kontra. Isu etika mengenai citizen journalism, apakah setiap pelaku citizen journalism perlu mematuhi standar-standar jurnalisme yang berlaku di kalangan wartawan selama ini sehingga produknya bisa disebut sebagai karya jurnalistik. Ini soal kaidah jurnalistik yang selama ini diajarkan pada para wartawan, akuntabilitas, kredibilitas, objektivitas pemberitaan, kualitas apakah harus selayaknya lembaga media yang dijalankan jurnalis atau wartawan sesungguhnya.

Jurnalis atau wartawan sebagai profesi memiliki etika profesi, etika berfungsi menjaga agar pelaku profesi tetap terikat (committed) pada tujuan sosial profesi sehingga etika profesi dapat berfungsi memelihara agar profesi itu tetap dijalankan sesuai dengan harapan lingkungan sosialnya, tetap sesuai interaksinya sebagai pranata sosial dengan lingkungannya. Pers adalah pranata sosial. Pelaksanaannya adalah orang yang mengemban kepercayaan dari lingkungan sosialnya untuk menyelenggarakan fungsi sosial yang sesuai dengan harapan kehidupan sosial. Oleh karena itu, pelaksanaan pers itu harus bertanggung jawab pada masyarakatnya. Ini yang dikatakan sebagai tanggung jawab sosial dari pelaksana pers. Dalam melakukan tugasnya sebagai penerima mandat dari masyarakat untuk mengaktualisasikan hak tahu dan memberitahukan, wartawan bekerja dengan aturan yang berlaku, ada Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers No. 40 Tahun 1999. Jurnalisme mensyaratkan sistem yang mempengaruhi kinerja seorang wartawan. Citizen journalism, termasuk di dalamnya blog-blog yang semakin ramai keberadaannya sekarang ini, tentu tidak semuanya lantas sudah bertindak dan dapat dikategorikan sebagai citizen journalism. Ada perbedaan yang mendasar antara blog dan media mainstream yang sudah ada sekarang (Surat kabar, Majalah, Televisi, Portal Internet, Radio, dll). Media mainstream bersifat objektif. Sedangkan blog, bahkan yang bertopik spesifik pun, tetap bersifat subjektif karena blog berdiri diatas individu. Keberadaan blog sebagai sebuah citizen journalism juga harus berdasarkan kredibilitas blog tersebut. Ini dapat dilihat dari isi, informasi dari blog tersebut. Blog memang membuka kemungkinan open source reporting, meningkatnya jumlah blog dan blogger adalah kondisi yang kondusif untuk memunculkan citizen journalism, tapi sekadar ngeblog saja tidak cukup untuk diberi predikat sudah ber-citizen journalism. Sebuah situs citizen journalism menjadi milik citizen, milik publik, jika banyak pengunjungnya. Maka, pengelola citizen journalism harus mampu memelihara kandungan situsnya, dan mengundang partisipasi publik, untuk membuka diskusi dalam frame yang jelas.

Namun, tak bisa diingkari, citizen journalism juga memiliki peran di masyarakat saat ini, terutama yang sering menggunakan internet dan mengakses situs-situs citizen journalism. Di tengah pro kontra keberadaannya dalam ranah jurnalisme, citizen journalism juga melakukan aktifitas mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan berita atau kejadian yang mereka dokumentasikan. Citizen Journalism juga meliput bukan karena tuntutan namun karena tergerak sendiri untuk mendokumentasikan kejadian yang sedang terjadi atau bersifat spontan. Jurnalisme itu adalah menginformasikan kejadian kepada masyarakat, maka citizen journalism masuk dalam ranah jurnalisme, ada atau tanpa ada sistem yang melingkupi wartawan dalam media mainstream. Blog dan media mainstream merupakan media berbeda yang bermain di area permainan dan pemain yang berbeda. Blog tidak mematikan media yang sudah ada, blog merupakan komplemen yang saling melengkapi media yang sudah ada.

Dengan adanya kebebasan pada setiap warga untuk dapat menulis di blog, kemudian bagaimana blog yang merupakan wujud citizen journalism harus diperlakukan, apakah perlu adanya aturan atau etika tertentu, seperti etika pers. Apalagi jika ada blog yang memuat hal-hal yang tidak sepantasnya atau bersifat SARA. Menurut Wimar Witoelar (WW), yang menjadi masalah sebenarnya adalah crime-nya, bukan mediumnya (blog). Pengaturan perilaku itu perlu, tapi jangan apriori, karena kalau segala sesuatunya diatur, orang malah tidak ada inisiatif, sebuah blog yang baik itu memiliki fasilitas jawab dan melakukan fungsi moderator. Tidak perlu ada UU khusus yang mengatur blog seperti UU Pers begitu, karena WW yakin bagaimanapun Etika pribadi tiap-tiap orang itu jauh lebih kuat daripada berbagai macam UU. Menurut saya, tetap perlu adanya aturan yang mengatur hal ini, UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) mungkin adalah usaha pemerintah untuk itu. Hanya saja perlu ada sosialisasi dan penerapan yang tepat dari UU tersebut.

Citizen journalism adalah salah satu perwujudan elemen jurnalisme terbaru yang muncul dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya internet. Dalam Pasal 28F Undang-undang Dasar (UUD) 1945 (yang telah diamandemen) menyatakan, setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memeroleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memeroleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Setiap orang dapat menulis apapun. Inilah hal yang penting bagi masyarakat, bahwa mereka disajikan beragam pilihan untuk dipilih. Di sini juga letak keindahan citizen journalism, semuanya dikembalikan pada masyarakat karena warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita.

Sumber:
Siregar, Ashadi, dkk. 1998. Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk Media Massa. Yogyakarta: Kanisius.
http://daisyawondatu.wordpress.com/2006/10/11/citizen-journalism/
http://bloggingly.com/mungkinkah-blog-menggantikan-media-mainstream-dan-perbedaan-mendasar-blog-dan-media-mainstream/
http://lunjap.wordpress.com/2008/06/03/citizen-journalism-sebuah-fenomena/

No comments:

Post a Comment