Dengan semakin berkembangnya internet dewasa ini, jurnalisme mempunyai satu jenis baru, yaitu citizen journalism atau jurnalisme warga. Apa itu citizen journalism? Pada intinya citizen journalism adalah segala kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh orang non-professional. Kita pasti sudah mengetahui bahwa berita-berita yang ada di surat kabar, radio maupun televisi adalah buatan wartawan, profesi yang memang benar-benar profesional di bidangnya. Nah, berita-berita yang ada di citizen journalism tidak dibuat oleh wartawan, melainkan oleh warga biasa. Siapa pun menjadi bebas untuk menyampaikan berita ataupun hal lainnya kepada publik. Oleh karena itu, seorang Wimar Witoelar pernah berkata bahwa citizen journalism adalah wujud dari demokrasi total.
Jika kita berbicara tentang jurnalistik, maka sudah tentu bakal berbicara tentang etika pers. Etika pers adalah hal-hal yang berhubungan dengan baik atau buruknya pers. Perwujudan nyata dari etika pers ini adalah kode etik jurnalistik. Kode etik tersebut memuat apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan wartawan dalam menjalankan tugasnya. Dengan adanya hal tersebut, maka wartawan mempunyai semacam pedoman dalam menjalankan profesinya.
Seiring semakin pesatnya trend citizen journalism di Indonesia, muncul suatu permasalahan : bagaimana agar citizen journalism berjalan sesuai dengan koridor yang berlaku? Bukan menjadi rahasia lagi jika sesuatu hal menjadi sangat berbeda jika sudah di publish ke masyarakat luas melalui internet (dengan asumsi internet termasuk media massa). Bukan tidak mungkin seseorang menyebarkan propaganda yang negatif melalui blog, forum, atau fasilitas lainnya yang ada di internet. Lalu bagaimana kita menyikapinya?
Berangkat dari kekhawatiran itu, pemerintah membuat Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) yang membahas tentang informasi-informasi yang ada di dalam internet. Pada dasarnya undang-undang tersebut memiliki tujuan baik, yaitu agar informasi-informasi yang ada di internet tidak berdampak desktruktif bagi masyarakat, seperti pornografi, asusila, pencemaran nama baik, fitnah, tulisan yang mengandung SARA, dsb. Namun yang perlu disayangkan adalah pasal-pasal yang ada dalam UU tersebut dikhawatirkan menjadi pasal karet yang multi interpretasi, seperti pasal 27 ayat 1 atau pasal 27 ayat 3.
Bunyi pasal 27 (1) adalah sebagai berikut, ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.” Sedangkan pasal 27 (2) berbunyi, ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Sepanjang yang saya ketahui, tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai apa saja yang digolongkan perbuatan asusila itu? Atau hal-hal seperti apa saja yang dapat digolongkan pencemaran nama baik itu? Kekhawatiran tersebut menjadi kenyataan saat Prita Mulyasari dikenai hukuman penjara hanya karena mengeluhkan pelayanan RS Omni Internasional lewat email yang dikirim ke temannya.
Sehubungan dengan itu, insan citizen journalism nampaknya perlu berhati-hati dalam menulis sesuatu di blog atau forum dalam internet. Jika dilihat dari segi etik, gerakan citizen journalism harus berpegang pada suatu pedoman yang jelas. Tentunya kita tidak ingin sesuatu yang di publish dalam citizen journalism adalah sesuatu hal yang tidak etis, palsu dan tidak berkualitas. Yang menjadi pertanyaannya adalah pedoman seperti apa yang harus dipegang oleh citizen journalism? Apakah harus kode etik jurnalistik yang selama ini dipegang oleh wartawan? Tapi bukankah penulis citizen journalism itu adalah warga biasa, bukan wartawan?
Selama ini "pedoman" yang berlaku di dunia citizen journalism ini adalah hati nurani penulisnya masing-masing. Tapi perlu diketahui bahwa hati nurani itu subjektif sifatnya. Jika seorang blogger meng-upload foto artis sedang mabok di diskotik, misalnya, maka hal itu menuai reaksi yang beragam. Ada yang berpendapat bahwa itu sesuatu yang tidak pantas karena tidak etis, ada yang berpendapat bahwa itu sah-sah saja untuk dilakukan, dsb. Para penulis citizen journalism harus sadar bahwa apa-apa yang ditulisnya itu dapat dibaca oleh orang di seluruh dunia dan dapat berdampak luas pada masyarakat, karena secara tidak langsung tulisan yang dimuat dalam blog sudah menjadi milik publik.
Dengan begitu tetap diperlukan suatu aturan yang jelas mengenai apa-apa yang bersifat "publik" dan apa-apa yang bersifat "privasi", karena fenomena yang berkembang di masyarakat belakangan ini adalah hal-hal yang bersifat privasi di-"publik"-asikan. Hal seperti itu hanya akan merugikan dirinya dan orang lain. Bukankah setiap manusia punya sesuatu yang tidak ingin diketahui oleh orang banyak (hidden area) ?
Akhir kata, aturan yang tegas perlu diberlakukan untuk melindungi citizen journalism yang merupakan ekspresi dari masyarakat akar rumput (grassroot) tersebut. Hal itu semata-mata dilakukan agar kebebasan pers yang diberlakukan semenjak reformasi tidak kebablasan.
No comments:
Post a Comment