Perkembangan teknologi memungkinkan siapa saja dapat memproduksi dan mengakses informasi. Inilah era yang disebut Alvin Toffler, seorang futurolog pada 1980-an, sebagai era prosumsi (produksi dan konsumsi). Publik atau masyarakat bisa menjadi produsen dan konsumen informasi sekaligus.
Mungkin masih terngiang di benak kita, betapa dahsyatnya tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2004 lalu. Saat itu, tsunami Aceh bisa kita saksikan berkat kemunculan rekaman video amatir yang dibuat beberapa warga Aceh. Rekaman tersebut dijual ke media massa elektronik dan akhirnya dipublikasikan kepada masyarakat. Pada saat itu, tak ada satu pun jurnalis profesional yang bisa menyampaikan informasi tersebut. Warga Acehlah yang bertindak sebagai jurnalis dan memperlihatkan kondisi Nanggroe Aceh Darussalam.
Kehadiran jurnalisme yang melibatkan warga ini menandakan bahwa aktivitas jurnalistik tidak hanya menjadi milik mereka yang berkecimpung di dunia media, tapi orang biasa pun bisa melakukannya. Fenomena jurnalisme yang dilakukan sendiri oleh warga ini disebut jurnalisme warga.
Jurnalisme warga adalah jurnalisme yang dikelola oleh warga. Dari warga, untuk siapa saja. Warga melakukan kegiatan jurnalistik seperti wartawan. Warga yang mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, data, grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Selain perkembangan teknologi informasi, jurnalisme warga diilhami pula oleh kekecewaan publik terhadap media mainstream yang mengalami kelunturan idealisme. Publik mulai mencium aroma kapitalisme di tubuh media mainstream. Publik merasa mesin kapitalisme telah menggerus idealisme media mainstream yang notabene menjunjung kebenaran.
Jurnalisme warga bisa diterapkan di media radio, televisi, cetak, maupun internet. Di radio, jurnalisme warga dapat dilihat pada laporan lalu lintas yang disampaikan warga. Di televisi, jurnalisme warga dapat dilihat dari video-video amatir yang dibuat warga tentang sebuah peristiwa. Di media cetak, jurnalisme warga bisa dilihat dari surat pembaca. Sementara di internet, jurnalisme warga dapat dilihat dari tulisan-tulisan warga di berbagai blog atau jejaring sosial.
Jurnalisme warga semakin berkembang di Indonesia. Ada beberapa indikator yang menunjukkan perkembangan tersebut. Di antaranya, dapat dilihat dari jumlah jurnalis warga kontributor radio Elshinta yang mencapai angka 100.000. Selain itu, Ketua Bidang Multimedia Persatuan Wartawan Indonesia, Priyambodo, mencatat paling tidak ada 1,2 juta blog di Indonesia dengan 700 ribu blogger.
Perkembangan jurnalisme warga ini dipengaruhi oleh kelebihannya yang luar biasa. Jurnalisme orang biasa ini, mampu membawa nilai berita bernama aktualitas. Nilai berita tersebut dapat dibawa warga karena warga dapat berada di lokasi kejadian atau merasakan langsung suatu kejadian atau peristiwa. Hal inilah yang menyebabkan warga dapat menyampaikan informasi terbaru ketimbang wartawan.
Mencermati perkembangan fenomena jurnalisme warga, Dewan Pers menilai bahwa gejala jurnalisme warga bisa menimbulkan persoalan tersendiri. Pada umumnya, warga yang menerapkan jurnalisme warga memerankan diri selaku jurnalis. Akan tetapi, sebagian besar warga tidak atau belum dibekali pengetahuan dan etika tentang jurnalisme. Akibatnya, jurnalisme warga berpotensi melahirkan informasi yang tidak berkualitas atau merugikan pihak lain.
Untuk mencegah lahirnya informasi yang tidak berkualitas tersebut, tentu diperlukan rambu -rambu yang perlu ditaati oleh setiap pelaku jurnalisme warga. Rambu-rambu tersebut adalah etika dan kode etik jurnalistik. Para pelaku jurnalisme warga tidak boleh menulis sebebas-bebasnya karena ada etika dan kode etik jurnalistik yang harus dipenuhi. Etika jurnalistik ini pada dasarnya menuntun warga untuk menyampaikan kebenaran semata sehingga bisa menyuarakan mereka yang tidak bisa bersuara.
Jurnalisme warga atau jurnalisme orang biasa hendaknya bisa menjaga spirit jurnalisme. Akurasi, integritas, kredibilitas, keseimbangan, dan profesionalitas adalah roh jurnalisme yang harus ada dalam diri pelaku jurnalisme orang biasa. Karena dengan demikian, jurnalisme orang biasa ini bisa menjadi oase di tengah gurun sahara krisis kredibilitas media massa mainstream.
Rikma Yulistiani
210110080094
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment