Citizen Journalism

Sendy Yustian Dani

                                                                                                                                             210110080339


Kekaburan Citizen Journalism

Citizen journalism atau yang jika diindonesiakan menjadi jurnalisme warga merupakan aktivitas pencarian, pemrosesan, sampai pada penyajian berita yang semuanya dilakukan oleh warga nonprofesional. Jadi dalam citizen journalism warga dapat dikatakan sebagai pewarta berita. Berita yang dibuat merupakan hasil pencarian, pemrosesan, dan penyajian yang dilakukan oleh warga. Berita tersebut tidak dipublikasikan melalui media massa resmi melainkan melalui situs blog warga yang bersangkutan atau situs-situs khusus citizen journalism.
            Dalam citizens journalism, siapa pun bebas memberitakan sesuatu apa yang ingin dia publikasikan. Siapa saja berhak menginformasikan berita dalam citizens journalism. Di sinilah letak kelemahan citizens journalism. Dikarenakan siapa saja bebas membuat berita, maka isi berita yang disampaikan dalam citizen journalism kurang dapat dipertanggungjawabkan. Tidak ada yang bertanggung jawab dalam pemberitaan melalui citizens journalism. Berbeda dengan jurnalisme profesional yang terikat dengan kode etik, dalam citizen journalism tidak ada aturan kaku.

Hal inilah yang bersinggungan dengan sesuatu yang disebut etika pers. Dalam etika pers, pemberitaan sesuatu harus dapat dipertanggung jawabkan. Adapun dalam citizen journalism pertanggung jawaban ini tidak jelas keberadaannya.

Kalaupun dibentuk sebuah etika khusus bagi citizens journalism, dikhawatirkan dapat menggangu kebebasan warga dalam citizen journalism. Adapun keberadaan citizen journalism ini digadang-gadang sebagai bentuk demokrasi. Jadi, jika nanti ada etika tertentu dalam citizen journalism dikhawatirkan dapat menyerobot asa demokrasi yang berusaha ditegakkan.

Jadi, dapat dikatakan pertanggungjawaban citizen journalism masih kabur. Sejauh ini tampaknya kita hanya bisa berharap demokrasi dalam citizen journalism ini tidak dipersalahgunakan. Siapa pun yang membuat berita dalam citizen journalism harus bisa mempertanggung jawabkan sendiri isi beritanya. Selain itu dituntut kesadaran warga untuk membuat berita yang akurat dalam citizens journalism dan tidak bertentangan dengan etika pers.

CITIZEN JOURNALISM

Maullah Enggal Kinanti
210110080245


Seiring berkembangnya zaman, dan mobilitas masyarakat di suatu negara mengakibatkan kemajuan dibidang teknologi dan informasi sangat pesat. Ini bisa dilihat dalam penyampaian informasi atau berita yang saat ini banyak dikemas melalui media online yang berasal dari masyarakat umum. Fenomena ini akrab disebut citizen journalism.
Citizen Journalism ini sendiri dapat diartikan sebagai proses pengumpulan, dan penyampaian informasi dari masyarakat non jurnalis ke khalayak umum. Menurut wikipedia, Jurnalisme warga (bahasa Inggris: citizen journalism) adalah kegiatan partisipasi aktif yang dilakukan oleh masyarakat dalam kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis serta penyampaian informasi dan berita.
Perkembangan Citizen Journalism atau jurnalisme warga sering mendapat perhatian lebih dari pengakses media online, sebagai bentuk partisipasinya terhadap perkembangan berita baru, jurnalisme warga saat ini sudah memiliki ruang khusus dalam kegiatannya, ditambah banyaknya masyarakat yang haus akan informasi aktual sehingga jurnalisme warga dapat mencuri perhatian mereka untuk mendapatkan informasi terkini.
Memang tidak dapat dipungkiri kecepatan jurnalisme warga dalam menyampaikan informasi tidak bisa ditandingi oleh media massa resmi. Faktor yang mempengaruhi adalah kemajuan didunia cyber dan keberadaaan jurnalis profesional pada saat kejadian berlangsung, suatu kejadian datang tiba-tiba dan sangat kecil kemungkinan jurnalis profesional bisa langsung datang beberapa menit setelah kejadian itu berlangsung. Maka, secara tidak langsung masyarakat dan wartawan profesional membutuhkan peran jurnalisme warga pada saat itu untuk melaporkan kejadian terkini. Faktor inilah yang menyebabkan semakin bertambahnya citizen journalism di setiap negara.
Di Indonesia sendiri jurnalisme warga mulai marak terjadi pada 2004 lalu, ketika video amatir dari Cut Putri beredar luas di media elektronik. Ia yang berhasil merekam detik-detik sebelum terjadinya Tsumani Aceh lima tahun silam, dan ketika air bah itu mulai menghantam apa saja yang ada disekilingnya. Kemudian setelah video dari Cut Putri ini muncul video-video lainnya yang berasal dari warga yang dikirim ke media massa resmi, seperti Video Gempa Padang, Longsornya tanah di Bukit tinggi, atau Video sesaat setelah kejadian Bom Marriot-Ritz Calton pada 17 Juli lalu, dan masih banyak lagi contoh-contoh video lain yang dikirim warga ke media massa resmi untuk dipublikasikan ke khalayak umum. Tidak hanya video saja jurnalisme warga yang banyak di tanyangkan di media massa resmi, ada juga jurnalisme warga yang memanfaatkan fasilitas media baru (internet) untuk menyalurkan apa yang mereka ketahui tentang informasi penting ke masyarakat. Misalnya merekla menulis di blog pribadi, atau situs jejaring sosial lainnya (fecebook, twitter, msn, dll)
Akan tetapi, fenomena ini sudah melahirkan sebuah genre baru dalam perkembangan media massa. Sehingga, tidak dapat dipungkiri citizen journalism ini memunculkan pro dan kontra untuk keberadaannya. Ada yang memandang bahwa jurnalisme warga tidak termaksud kedalam kegiatan jurnalisme, karena dilihat dari definisi jurnalisme yang dikemukakan dalam kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English (1987) jurnalisme adalah:
a. The work of profession of producing
b. Writing that may be all right for a newspaper.
Disini terlihat, bahwa kegiatan jurnalisme syarat akan sistem yang mempengaruhi kinerja dan profesi seorang wartawan, layaknya kewajiban wartawan selama ini. Akan tetapi, disisi lain Jika sepakat bahwa jurnalisme itu adalah kegiatan yang bertujuan untuk menginformasikan kejadian kepada masyarakat, maka citizen journalism masuk dalam ranah jurnalisme, ada atau tanpa ada sistem yang menyelimuti profesi wartawan dalam media massa utama.
Citizen Journalism atau yang lebih dikenal dengan jurnalisme warga dapat terbagi menjadi beberapa bentuk, yaitu:
J.D. Lasica, dalam Online Journalism Review (2003), mengategorikan media citizen journalism ke dalam 5 tipe:
1. Audience participation (seperti komenter user yang diattach pada kisah-kisah berita, blog-blog pribadi, foto, atau video footage yang diambil dari handycam pribadi, atau berita lokal yang ditulis oleh anggota komunitas).
2. Situs web berita atau informasi independen (Consumer Reports, Drudge Report).
3. Situs berita partisipatoris murni (OhmyNews).
4. Situs media kolaboratif (Slashdot, Kuro5hin).
5. Bentuk lain dari media ‘tipis’ (mailing list, newsletter e-mail).
6. Situs penyiaran pribadi (situs penyiaran video, seperti KenRadio).

Sedangkan menurut Steve Outing bentuk-bentuk citizen journalism sebagai berikut:
1. Citizen journalism membuka ruang untuk komentar publik. Dalam ruang itu, pembaca atau khalayak bisa bereaksi, memuji, mengkritik, atau menambahkan bahan tulisan jurnalisme profesional. Pada media cetak konvensional jenis ini biasa dikenal dengan surat pembaca.
2. Menambahkan pendapat masyarakat sebagai bagian dari artikel yang ditulis. Warga diminta untuk ikut menuliskan pengalamannya pada sebuah topik utama liputan yang dilaporkan jurnalis.
3. Kolaborasi antara jurnalis profesional dengan nonjurnalis yang memiliki kemampuan dalam materi yang dibahas. Tujuannya dijadikan alat untuk mengarahkan atau memeriksa keakuratan artikel. Terkadang profesional nonjurnalis ini dapat juga menjadi kontributor tunggal yang menghasilkan artikel tersebut.
4. Bloghouse warga. Bentuknya blog-blog gratisan yang dikenal, misalnya ada wordpress, blogger, atau multiply. Melalui blog, orang bisa berbagi cerita tentang dunia, dan bisa menceritakan dunia berdasarkan pengalaman dan sudut pandangnya.
5. Newsroom citizen transparency blogs. Bentuk ini merupakan blog yang disediakan sebuah organisasi media sebagai upaya transparansi. Dalam hal ini pembaca bisa melakukan keluhan, kritik, atau pujian atas apa yan ditampilkan organisasi media tersebut.
6. Stand-alone citizen journalism site, yang melalui proses editing. Sumbangan laporan dari warga, biasanya tentang hal-hal yang sifatnya sangat lokal, yang dialami langsung oleh warga. Editor berperan untuk menjaga kualitas laporan, dan mendidik warga (kontributor) tentang topik-topik yang menarik dan layak untuk dilaporkan.
7. Stand-alone citizen journalism, yang tidak melalui proses editing.
8. Gabungan stand-alone citizen journalism website dan edisi cetak.
9. Hybrid: pro + citizen journalism. Suatu kerja organisasi media yang menggabungkan pekerjaan jurnalis profesional dengan jurnalis warga.
10. Penggabungan antara jurnalisme profesional dengan jurnalisme warga dalam satu atap. Website membeli tulisan dari jurnalis profesional dan menerima tulisan jurnalis warga.
11. Model Wiki. Dalam Wiki, pembaca adalah juga seorang editor. Setiap orang bisa menulis artikel dan setiap orang juga bisa memberi tambahan atau komentar terhadap komentar yang terbit (Yudhapramesti, 2007).
Dalam perkembangannya, citizen journalism juga mempunyai dampak sendiri untuk media massa resmi. Diantaranya adalah, Open source reporting: Dengan adanya jurnalisme warga, telah terjadi perubahan modus pengumpulan berita. Wartawan tidak menjadi satu-satunya pengumpul informas. Disini wartawan harus rela apabila kecepatan citizen journalism menyediakan laporan terkini dari lapangan (firsthand) untuk masyarakat. Perubahan modus pengelolaan berita: saat ini, media resmi tidak lagi menjadi satu-satunya pengelola berita, tetapi juga harus bersaing dengan situs-situs pribadi yang didirikan oleh warga demi kepentingan publik sebagai pelaku citizen journalism. Mengaburnya batas produsen dan konsumen berita. Pada awalnya, Media resmi memosisikan sebagai produsen berita, akan tetapi saat ini media resmi tersebut berubah menjadi konsumen berita mengutip berita-berita dari situs dan blog, video amatir, atau foto-foto hasil jepretan warga. Begitu pula sebaliknya, warga yang lazimnya diposisikan sebagai konsumen berita, dalam lingkup citizen journalism menjadi produsen berita yang content-nya diakses pula oleh media media utama. Perdebatan Profesionalisme: profesionalisme citizen journalism dengan wartawan asli masih menjadi perbincangan. Isu etika: untuk masalah etika yang di anut wartawan sebenarnya, pelaku citizen journalism masih perlu mematuhi standar-standar jurnalisme yang berlaku di kalangan wartawan selama ini sehingga produknya bisa disebut sebagai karya jurnalistik, karena kaidah jurnalistik adalah soal objektivitas pemberitaan. Regulasi: perlukah adanya regulasi bagi pelaku citizen journalism? Kaitannya dengan etika, profesionalisme, komersialiasi, dan mutu content. Ekonomi: munculnya situs-situs pelaku citizen journalism yang ramai dikunjungi menimbulkan konsekuensi ekonomi, yaitu pemasang iklan, yang jumlahnya tidak sedikit.


Sumber:
Buku Nurudin, Jurnalisme Kontemporer, 2009)
www.rumahkiri.net

Citizen Journalism.

Aulia Laratika Rizal
210110080357


Citizen journalism lahir dari peradaban dan perkembangan teknologi. Asal mula citizen journalism di USA tahun 2004, dilangsungkan pemilu untuk memilih Presiden Amerika. Dua calon, Bush dari Partai Republik dan Kerry dari Partai Demokrat bersaing ketat. Banyak masyarakat Amerika yang bosan dengan berita-berita yang disampaikan oleh koran-koran, karena koran-koran dikuasai oleh partai-partai tersebut. Shayne Bowman dan Chris Willis lantas mendefinisikan citizen journalism sebagai ‘…the act of citizens playing an active role in the process of collecting, reporting, analyzing, and disseminating news and information”. Citizen journalism adalah bentuk spesifik dari citizen media dengan content yang berasal dari publik. Gaung citizen journalism semakin terdengar dikalangan media massa. Citizen journalism merupakan salah satu bentuk kegiatan jurnalisme yang dilakukan dengan bebas oleh masyarakat. Tidak ada aturan khusus yang mengikatnya.pada zaman globalisasi seperti sekrang setiap orang dapat melakukan apa saja.
Seorang jurnalis bertugas untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan berita mealui media massa kepada khalayak. Seiring dengan berkembangnya zaman maka media massa pun mengalami perkembangan. Salah satu perubahan yang terjadi dalam citizen journalism salah satunya adalah dalam modus pengumpulan beritanya. Wartawan tidak menjadi satu-satunya pengumpul informasi. Tetapi, wartawan dalam konteks tertentu juga harus ‘bersaing’ dengan khalayak, yang menyediakan firsthand reporting dari lapangan. Dalam lingkup citizen journalism menjadi produsen berita yang content-nya diakses pula oleh media-media mainstream, khalayak yang lazimnya diposisikan sebagai konsumen berita.
Perkembangan citizen journalism di Indonesia masih belum lama. Citizen journalism di Indonesia diawali dengan munculnya detik.com. detik. Com menampilkan berita-berita hangat dan segar untuk khlayaknya. Public journalism dengan model seperti ini mendasarkan sebagian besar inisiatif dari lembaga media. Kemajuan teknologi dan ketidakterbatasan yang ditawarkan oleh Internet membuat inisiatif semacam itu dapat dimunculkan dari konsumen atau khalayak. Implikasinya cukup banyak, tidak sekadar mempertajam aspek partisipatoris dan isu yang diangkat. Blog memang membuka kemungkinan open source reporting, menjamurnya blog dan blogger adalah kondisi yang kondusif untuk memunculkan citizen journalism, tapi sekadar ngeblog saja tidak cukup untuk diberi predikat sudah ber-citizen journalism.
Akses media yang begitu luas dan membuka peluang utuk menjadi citizen journalism. Kesempatan bagi khalayak pun untuk melakukan kegiatan jurnalistik semakin besar. Khalayak dengan mudah menyebarluaskan berita walau tak sedikit juga isi dari karya jurnalistik yang dibuat tidak sepenuhnya memenuhi aturan dan etika jurnalistik. Namun walau tak sepenuhnya sebagai jurnalis akan lebih baik jika dalam kegiatanya apapun jenisnya disesuaikan dengan aturan dan etika jurnalistik. Fenomena citizen journalism tuntuk kedepannya tampaknya akan semakin mewarnai dunia jurnalistik. Fenomena ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan jurnalistik kedepannya.

Peran Perkembangan IT terhadap Dunia Jurnalisme

Oleh : Syahdino Pratama
(210110080208)

Menurut kamus Oxford (1995), teknologi informasi atau yang biasa disebut IT (Information Technology) adalah studi atau penggunaan peralatan elektronika, terutama computer, untuk menyimpan , menganalisis, dan mendistribusikan informasi apa saja, termasuk kata-kata, bilangan, dan gambar. Menurut Alter (1992), teknologi informasi mencakup perangkat keras dan perangkat lunak untuk melaksanakan satu atau sejumlah tugas pemrosesan data seperti menangkap, mentransmisikan, menyimpan, mengambil, memanipulasi, atau menampilkan data. Martin (1999) mendefinisikan teknologi tidak hanya terbatas pada teknologi komputer (perangkat keras dan perangkat lunak) yang digunakan untuk memproses dan menyimpan informasi, melainkan juga mencakup teknologi komunikasi untuk mengirimkan informasi. Secara lebih umum, Lucas (2000) menyatakan bahwa teknologi informasi adalah segala bentuk teknologi yang diterapkan untuk memproses dan mengirimkan informasi dalam bentuk elektronis. Mikrokomputer, komputer mainframe, pembaca barcode, perangkat lunak pemroses transaksi, perangkat lunak lembar kerja (spreadsheet), dan peralatan komunikasi dan jaringan merupakan contoh teknologi informasi (Kadir, 2003:2008).

Dari ketiga definisi di atas mempunyai kedekatan persepsi bahwa teknologi informasi adalah teknologi yang memungkinkan manusia berbagi informasi dengan manusia lain, terlepas dari perdebatannya mengenai alat yang digunakan. Namun, yang saya bahas di sini lebih menekankan pada teknologi informasi dalam konteks komputer, internet, dan varian-variannya. Perkembangan teknologi informasi tidak saja mampu menciptakan masyarakat dunia global, namun secara materi mengembangkan ruang gerak kehidupan baru bagi masyarakat. Sehingga tanpa disadari, komunitas manusia telah hidup dalam dua dunia kehidupan, yaitu kehidupan masyarakat nyata dan kehidupan masyarakat maya (cybercommunity).

Kemajuan teknologi informasi secara sadar membuka ruang kehidupan manusia semakin luas, semakin tanpa batas dengan indikasi manusia sebagai penguasa. Kemajuan teknologi informasi telah menyentuh segala aspek kehidupan, termasuk dunia jurnalisme. Hal itu membuat pertukaran dan penyebaran informasi semakin mudah. Dahulu, peran jurnalis sangat besar dalam menyebarkan informasi. Jurnalis adalah tokoh sentral yang kehadirannya sangat ditunggu oleh setiap orang. Dengan kata lain, jurnalis memonopoli tugas sebagai penyebar informasi. Informasi yang akurat dan dapat dipercaya hanya datang dari jurnalis. Konsekuensinya, jurnalis ditempatkan dalam posisi yang sangat vital dan mempunyai tanggung jawab yang sangat besar dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap informasi.

Namun, kini peran jurnalis semakin tereduksi dengan kemajuan teknologi tersebut. Salah satu penyebab tereduksinya peran jurnalis adalah akibat lahirnya fenomena yang dinamakan citizen journalism. Citizen journalism secara harfiah berarti jurnalisme warga. Citizen journalism mempunyai spirit yang sama dengan public journalism ataupun civic journalism yang terkenal pada tahun 80-an. Yaitu, bagaimana menjadikan jurnalisme bukan lagi sebuah ranah yang samata-mata dimonopoli para jurnalis.
Tokoh sentral dalam citizen journalism sudah barang tentu masyarakat itu sendiri. Kemajuan teknologi informasi membuat publik memiliki akses yang sangat terbuka terhadap dunia jurnalisme. Pada dasarnya, tidak ada beda antara konsep citizen journalism dengan konsep jurnalisme konvensional. Kegiatannya sama, yaitu mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan berita. Hanya saja dalam citizen journalism yang menjadi tokoh sentral adalah masyarakat.

Salah satu hasil dari perkembangan teknologi yang memudahkan akses masyarakat terhadap penyebaran informasi adalah seiring munculnya situs-situs jejaring sosial, twitter, facebook, friendster, myspace, dan lain sebagainya. Dan juga hadirnya situs penyedia blog, seperti blogspot, wordpress, multiply, dan lain sebagainya. Wadah ini kemudian digunakan oleh masyarakat untuk menyebarkan informasi yang diperolehnya. Apalagi dalam menyiarkan informasi, masyarakat tidak dibatasi peraturan dan proses seleksi, tidak sama halnya dengan proses pemberitaan dalam media konvensional. Dalam media konvensional, fakta-fakta yang telah dikumpulkan wartawan terlebih dahulu diseleksi oleh dewan redaksi, akibatnya tidak semua berita yang dikumpulkan wartawan dapat disebarluaskan.

Semua informasi yang ada dalam dunia maya menjadi milik publik yang dapat diakses semua orang. Kendati ada peringatan untuk tidak secara bebas mengakses data tertentu, namun tetap saja eksistensi itu menjadi milik publik, hal ini disebabkan substansi dunia maya adalah milik publik.

Di lain pihak, kita juga harus menyadari bahwa dampak kebebasan berekspresi masyarakat dalam menyebarkan informasi di ranah virtual, tentu tidak luput dari benturan dan pelanggaran terhadap etika yang berlaku di dunia nyata. Karena tidak ada kontrol dalam proses penyebarannya tersebut, masyarakat kadang lebih mengedepankan emosi ketimbang logika sehat dalam tulisan-tulisannya. Jadi tak salah jika saat ini banyak tulisan di berbagai situs jejaring sosial dan blog yang cenderung berisi sumpah serapah, makian, dan lain sebagainya. Bahkan, sampai mengandung unsur pencemaran nama baik seseorang.

Namun, yang patut kita garisbawahi bahwa itu semua adalah suatu keniscayaan dalam proses demokratisasi di era keterbukaan yang menyentuh semua lini kehidupan. Jadi, sekarang bukan saatnya lagi untuk membatasi dan melarang masyarakat dalam berekspresi. Bahkan sangat tidak relevan untuk melakukan tuntutan hukum terhadap masyarakat yang melakukan pencemaran nama baik di ranah virtual. Jika memang ada yang merasa dicemarkan nama baiknya oleh pelaku citizen journalism, cukup diselesaikan dengan cara-cara yang cerdas dan arif, bukan dengan cara-cara emosional dan oportunistik, seperti memanfaatkan UU ITE yang penuh pasal karet untuk menjerat pelaku citizen journalism.

Usaha untuk menciptakan masyarakat cyber yang bertanggung jawab dan sesuai norma-norma yang dianut memang mesti terus dilakukan, tentu harus dengan pendekatan persuasi dan cara-cara yang santun. Namun, alangkah baiknya jika political will itu tumbuh dan hadir dari dalam diri pelaku citizen journalism itu sendiri. Biarkan para pelaku citizen journalism membuat norma-norma ataupun kode etik yang dianggap perlu dan fungsional dalam komunitasnya. Bukan tidak mungkin pelaku citizen journalism mengadopsi norma-norma dan hukum-hukum di dunia nyata untuk kemudian diterapkan dalam dunia virtual. Tidak ada gunanya membuat aturan-aturan represif yang tidak jelas manfaatnya. Apalagi resistensi masyarakat saat ini sangat besar terhadap hukum positif yang mengatur pencemaran nama baik dan variannya tersebut. Sehingga proses alamiah lah yang melakukan pendewasaan terhadap tokoh citizen journalism.

“AKUNMU” DAN JURNALISTIK


NUR KHASANAH

210110080121


Mungkin kita semua sudah tahu kasus yang menimpa artis sekaligus model cantik Luna Maya. Ya kasus sini bermula ketika Luna menulis senuah akun di Twitternya yang berisi amarahnya terhadap sikap wartawan yang terlau mengganggu kehidupan pribadinya. Kejadian itu terjadi Selasa malam (15/12) saat pekerja infotaiment beraksi mengambil gambar Luna yang tengah mengendong Alea, anak Ariel di acara premier film 'Sang Pemimpi' di Plaza EX, Jakarta.

Dengan berbekal kasus yang terjadi antara Luna Maya dengan wartawan terutama wartawan infotainment tadi, kita bisa melihat bahwa sesungguhnya hal tersebut tidak seharusnya terjadi jika ada pengertian dan rasa menghargai dari kedua belah pihak. Sebenarnya bukan hanya Luna Maya saja yang mengalami kasus demikian. Ingat kembali pada sosok Prita Mulya Sari yang beberapa waktu lalu digugat oleh Rumah sakit Omni internasional karena dianggap telah mencemarkan citra rumah sakit tersebut. Pada awalnya prita hanya mencurahkan keluh kesahnya tentang pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit tersebut kepada teman-temannya. Berbuah dari sebuah electronic mail (email), ternyata emailnya tersebut menyebar pada khalayak luas dan sampai terdengar oleh pihak rumah sakit omni Internasional. Merasa nama baik rumah sakit tersebut telah dilecehkan, maka pihak rumah sakit Omni Internasioanl menuntut Prita ke pengadilan dan membayar denda sebesar 204 juta rupiah.

Yang akan kita bahas kali ini adalah penggunaan media informasi yang berbentuk jejaring social. Jejaring social adalah salah satu bentuk media komunikasi yang sering digunakan oleh kita untuk berkomunikasi dengan sahabat , sanak keluarga ataupun dengan rekan kerja. Kasus yang menimpa Luna Maya maupun Prita Mulya Sari sebenarnya berawal dari keluh kesah mereka pada teman-temannya. Namun sangat disayangkan bila kasus yang sederhana itu akhirnya merebak dan menjadi petaka bagi kedua individu tersebut. Bisa dimaklumi jika responden terhadap akun yang dibuat oleh lumna maupun Prita itu mencoba untuk ber empati terhadap keadaan Luna dan Prita tetapi jika akhirnya akan berbuah pahit seperti ini tentu saja pihak yang dirugikan adalah kedua orang tersebut.

Mari kita lihat dari sisi wartawan yang bermasalah dengan Luna Maya. Sebagai insan jurnalis, tidak seharusnya wartawan terutama wartawan infotainment terlalu menggali kehidupan pribadi si nara sumber untuk mendapatkan informasi yang ia inginkan. Apalagi jika keadaannya sampai mengganggu privasi si nara sumber atau tokoh yang akan dijadikan sumber berita. Mengacu pada buku Sepuluh Pelajaran Untuk Wartawan karangan Nuran Zaini bahwa wartawan harus bisa menjaga dan menghormati nara sumber atau sumber beritanya sekalipun sumber berita tersebut adalah satu-satunya yang bisa memberikan informasi paling detail. Jnagan hanya karena alasan memburu berita yang diatasnamakan demi kpentingan akan kenutuhan public, nara sumber menjadi merasa di eksploitasi dan dicecar habis. Yang paling utama disini adalah wartawan sama-sama menjunjung kedua hak dan kewajiban baik dari nara sumber, khalayak ataupun dari wartawan itu sendiri.

Baiklah jika wartawan memiliki kebebasan yang disebut kebebasan pers, yakni kebebasan mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. UU No. 40/1999 tentang Pers menyebutkan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, bahkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1 dan 2). Meskipun demikian, kebebasan di sini dibatasi dengan kewajiban menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1). Jadi berdasarkan keadaan diatas maka wartawan memiliki dan harus menaati Kode Etik Jurnalistik (Pasal 7 ayat (2) UU No. 40/1999 tentang Pers). Dalam penjelasan disebutkan, yang dimaksud dengan Kode Etik Jurnalistik adalah Kode Etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.

Dalam salah satu pasal Kode etik jurnalistik disebutkan bahwa Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk ( pasal 1). Selain itu dalam melaksanakan tugasnya , wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik ( pasal 2). Penafsiran dari konsekuensi ini adalah berupa cara-cara yang profesionalyang dilakukan, antara lain :

  • menunjukkan identitas diri kepada narasumber;

  • menghormati hak privasi;

  • menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;

  • rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;

  • menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;

  • penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Semua Orang Bisa Menjadi Reporter

Semua orang bisa menjadi reporter. Kini, dengan segala kecanggihan teknologi dan kemudahan yang serba ada, tidak hanya orang yang berpredikat lulusan minimal strata satu yang bisa menjadi reporter. Yang saya maksud reporter di sini, bukan reporter sebagai profesi resmi tetapi reporter sebagai pekerjaan yang karenanya siapa pun bisa melakukannya. Ada istilah yang sudah tidak asing lagi dalam dunia jurnalisme dewasa ini, yakni citizen journalism.

Citizen journalism, atau yang juga dikenal dengan istilah participatory journalism, adalah kegiatan jurnalisme yang menempatkan masyarakat turut berperan aktif dalam mencari, mengolah, serta menyebarluaskan sebuah informasi kepada khalayak. Dalam citizen journalism—atau yang bisa juga di-Bahasa Indonesia-kan menjadi jurnalisme rakyat—,masyarakat tidak lagi berperan sebagai objek berita tetapi juga subjek. Masyarakat tidak hanya menerima berita tetapi juga bisa membuat berita.

Kita tentu masih ingat peristiwa tsunami tahun 2004 lalu. Tidak ada satu pun media televisi yang sempat menyiarkan berita tersebut secara langsung karena musibah bukanlah sesuatu yang bisa diprediksi, apalagi diharapkan. Media massa, khususnya televisi di Indonesia menyiarkan peristiwa tsunami tersebut melalui gambar video amatir yang dikirimkan salah seorang masyarakat Aceh yang sempat merekam peristiwa tersebut. Tanpa adanya video amatir tersebut, mungkin sampai saat ini kita tidak akan bisa melihat di televisi suasana ketika musibah terjadi. Video amatir tersebut adalah salah satu bentuk citizen journalism.

Citizen journalism hadir sebagai alternatif berita-berita yang disajikan oleh media massa. Ia hadir bukan sebagai substitusi atau pengganti, melainkan sebagai komplementer atau pelengkap dari sajian berita yang sudah ada. . Ia juga bertindak sebagai “perpanjangan mulut” masyarakat. Dengan adanya citizen journalism, berita dan informasi yang ada semakin melimpah dan bervariasi Karenanya, citizen journalism pun berjalan berdampingan dengan perkembangan zaman.

Sebelum era internet, sebenarnya citizen journalism telah dilakukan oleh radio. Semacam radio khusus berita di Indonesia dalam jam-jam khusus menerima telepon atau membacakan sms dari masyarakat yang isinya laporan mengenai berita yang terjadi di sekitar mereka. Mulai dari kecelakaan, hingga pungli yang dilakukan oleh oknum tak bertanggung jawab.

Setelah munculnya internet, citizen journalism makin mewabah. Melalui internet, kini kita mengenal berbagai situs dengan berbagai fungsinya masing-masing. Kita mengenal e-mail, blog, jejaring sosial hingga situs pribadi. Kesemuanya dapat difungsikan sebagai wadah pengaplikasian citizen journalism. Yang paling mudah dan efektif, tentu saja blog. Melalui blog, setiap orang bebas mengisinya dengan apa saja, bisa artikel, essai, opini, hingga curahan hati.

Namun, dari ke semua kebaikan citizen journalism tersebut, muncul pertanyaan-pertanyaan dalam benak saya, yakni apakah ke semua berita atau informasi yang disajikan oleh citizen journalism dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan keakuratannya? Apakah informasi yang disajikan harus dengan memakai bahasa dan kaidah jurnalistik (harus mengandung unsur 5W+1H ) seperti yang biasa dilakukan reporter profesional? Lantas apakah ada semacam Kode Etik atau aturan-aturan tertentu yang mengatur pemberitaan yang dilakukan melalui citizen journalism?

Tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sepanjang yang saya tahu, belum ada kode etik atau aturan tertentu yang dapat dijadikan acuan dalam melakukan citizen journalism. Adapun UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang baru saja disahkan, masih memiliki beberapa pasal yang multitafsir. Seperti misalnya Pasal 27 ayat 1 dan Pasal 27 ayat 3. Pasal 27 ayat 1 tersebut berbunyi ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.” Adapun pasal 27 (2) berbunyi, ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Pasal 27 ayat 3 UU ITE tersebut, digunakan untuk menuntut Prita Mulyasari dan Luna Maya. Kita tahu bahwa Prita mengirimkan email kepada ke-dua puluh temannya mengenai keluh kesahnya terhadap pelayanan RS Omni International. Sedangkan batasan-batasan mengenai penghinaan, pencemaran nama baik, atau fitnah seperti yang terkandung dalam pasal tersebut tidak jelas dan masih multi tafsir. Apakah keluh kesah dapat dikatakan sebagai fitnah atau pencemaran nama baik sehingga karenanya dipakailah Pasal 27 ayat 3 tersebut untuk menuntut Prita? Menurut saya, sepanjang masih multitafsir seperti itu, UU ITE belum bisa dijadikan acuan dalam melakukan citizen journalism.

Terlepas dari itu, kebenaran mengenai berita yang dihasilkan melalui citizen journalism, menurut saya, belum bisa sepenuhnya dipercaya jika dibandingkan dengan berita di media massa yang dihasilkan oleh reporter profesional. Situs Wikipedia, misalnya, bebas diedit oleh masyarakat untuk melengkapi isinya. Salah satu dosen saya pernah bercerita bahwa ia melakukan semacam penelitian kecil tentang keakuratan informasi di media massa online. Maka ia bersama temannya, iseng mengedit informasi yang ada di Wikipedia.Ia mengganti informasi mengenai nama seorang bintang film menjadi salah seorang nama mahasiswanya. Hingga informasi tersebut kemudian dikutip dan diterbitkan oleh suatu media massa cetak, tidak ada seorang pun yang menyadari dan mengganti nama bintang film—yang sebenarnya nama mahasiswa itu. Begitulah, situs macam Wikipedia, dapat menyajikan informasi yang keliru jika disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Oleh karenanya, kebenaran dan keakuratan berita yang disajikan melalui citizen journalism, menjadi tanggung jawab masing-masing pihak yang menyajikan berita tersebut. Mengenai bahasa yang digunakan,apakah bahasa jurnalistik atau bukan, menggunakan kaidah jurnalistik atau tidak, menjadi semacam prerogative bagi pihak yang membuatnya. Tidak akan ada yang menuntut jika kita membuat sebuah berita dalam blog pribadi kita dengan menggunakan bahasa yang membingungkan. Yang jelas, kita harus mengingat bahwa tujuan awal adanya citizen journalism ini adalah untuk melengkapi berita yang sudah ada, bukan sebagai berita utama. Maka, sebagai konsumen informasi, masyarakat harus senantiasa mempertahankan sikap kritisnya terhadap berita yang disajikan. Tidak menelan mentah-mentah berita tersebut karena kini, setiap orang bisa menjadi reporter, terlepas dari apakah ia adalah orang yang berkredibel menulis berita atau tidak.

Deandra Syarizka
210110080225

Citizen Journalism : Bukan Media Massa Biasa

Abad 21 ini akan menjadi tantangan berat bagi media massa konvensional atas lahirnya jurnalisme baru yang sangat berbeda dengan jurnalisme terdahulu.
(Gillmor, penulis buku We the Media : Grassroot Journalism by the People for the People (2006) yang juga mantan kolumnis teknologi di San Jose Mercury News)

Saat ini kita sudah bisa melihat betapa semakin majunya perkembangan teknologi yang berimbas pada kehidupan jurnalisme. Tetapi, hal ini tidak semata-mata lahir dan tumbuh karena pengaruh teknologi tetapi juga pengaruh kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya di masyarakat.

Istilah Citizen Journalism di Indonesia berkembang sejak awal 1990-an sebagai bentuk jurnalisme. Saat itu, siaran-siaran radio yang berbasiskan komunitas menjadi pelopor lahirnya citizen journalism, yaitu lewat partisipasi aktif pendengar terhadap siaran berita. Media-media komunitas justru menjadi media alternatif yang diminati apabila media-media besar kurang menyoroti tentang sesuatu yang lebih dekat dengan khalayaknya.
Walaupun tidak diketahui secara pasti kehadiran citizen journalism, tetapi ia menjadi berkembang dan mempunyai beberapa nama, antara lain : parcipatory journalism, grassroot journalism, civic or public journalism, atau bahkan journalisme idol. Istilah-istilah tersebut walaupun memiliki representasi yang sama, tetapi bisa dimaknakan berbeda. Mengutip dari tulisan Pandan Yudhapramesti berjudul Citizen Journalism sebagai Media Pemberdayaan Warga, seseorang tanpa memandang latar belakang pendidikan dan keahlian, dapat merencanakan, menggali, mengola, dan merepresentasikan informasi, berupa tulisan, gambar, foto, tuturan (laporan tulisan), video, dll. Sedangkan menurut Septiawan Santana K., jurnalisme publik hadir sebagai sebuah gerakan penolakan perangkap advokasi dan pasar yang merangkakan media massa melalui tekanan politik dan bisnis. Target pencapaian jurnalisme publik yaitu untuk mencoba dan melaksanakan perbaikan kualitas dari kehidupan masyarakat, melalui pengembangan kegiatan jurnalisme yang mengajak partisipasi dan perdebatan publik.Tetapi, menurut Dandi Supriadi,dalam tulisannya yang berjudul Online Citizen Journalism : Memantapkan Posisi Warga dalam Demokrasi, di buku kumpulan artikel, Observasi Vol.5 No.1,2007, penggunaan citizen journalism dengan public journalism harus dipisahkan. Menurutnya, citizen journalism lebih bertujuan unjuk melibatkan warga secara langsung dalam produksi berita.

Lepas dari penggunaan istilah yang tepat atau tidak, lebih baik kita tetap menyebutnya dengan citizen journalism sebagai bentuk terobosan baru dunia jurnalisme. Karena globalisasi yang semakin berkembang dan meluas, kebutuhan masyarakat atas informasi terbaru pun juga semakin meningkat. Semakin banyak orang yang menyadari betapa pentingnya informasi dan pengetahuan untuk dapat menguasai dunia, mempertahankan hidup atau menggunakan informasi tersebut untuk dapat memperoleh tujuan hidup lainnya. Namun, media massa mainstream tidak bisa sepenuhnya memenuhi kebutuhan informasi yang sangat luas itu, sehingga dibutuhkan bantuan dari tenaga-tenaga nonjurnalis untuk turut memenuhinya. Citizen journalism akhirnya mendorong setiap orang untuk dapat menguasai informasi kemudian naik tingkat lebih tinggi menjadi penyedia informasi, bahkan menjadi pemilik perusahaan media massa. Usaha di bidang penyedia informasi kemudian berkembang menjadi alat pencari keuntungan.

Namun, hal ini tidak terjadi pada semua bentuk citizen journalism. Setiap orang yang mengetahui informasi di sekitarnya (audience) bisa sekaligus menjadi reporter dan mempublikasikan informasi melalui medium tertentu, tidak harus yang komersil. Seperti pengertian jurnalistik yang berasal dari kata diurna, catatan harian yang telah ditulis orang tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk citizen journalism dengan syarat dipublikasikan baik dalam daya sebar yang sempit maupun luas.
Bentuk-bentuk lain yang dapat kita kategorikan sebagai Citizen Journalism, antara lain : situs wiki, artikel yang sumbernya terdapat beberapa pengalaman warga, kolaborasi jurnalis profesional dengan nonjurnalis dalam laporan berita, blog, newsroom citizen transparancy blogs, situs citizen journalism yang berdiri sendiri, dan gabungan antara situs CJ dengan situs media massa profesional. Untuk koran misalnya, dengan adanya kolom opini atau surat pembaca yang bebas diisi oleh siapapun yang ingin menulis dan berbagi informasi serta pengetahuan. Untuk televisi, saat ini juga mulai banyak bermunculan program acara yang mengusung format talkshow dengan phone in langsung dari warga.

Media internet memang salah satu media yang terlihat sangat kuat menyiarkan bentuk citizen jurnalisme dibanding media lain. Situs-situs citizen journalism di internet terbukti bisa memberikan pengaruh yang luar biasa kepada kehidupan jurnalisme, terutama jurnalisme on-line. Penggunaan situs di internet tersebut selain sebagai sarana penyedia informasi tetapi juga berhasil menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga. Contohnya yaitu adanya mailing list, ruang komentar, atau bahkan ruang diskusi di situs-situs jejaring sosial. Hal ini sesuai sekali dengan elemen jurnalisme yang ke-6 menurut Bill Kovach dan Tom Rossentiel, dan menggambarkan juga pernyataan dari Glasser dan Craft yang dikutip oleh Santana (2007) : jurnalisme publik merupakan perpindahan shift dari jurnalisme informasi (journalism of information) ke jurnalisme percakapan (journalism of conversation).

Perkembangan suatu hal pasti diiringi dengan dampak negatif dan positif yang bisa menjadi kontroversi. Citizen journalism berkembang dengan kontroversi tentang kredibilitas dan profesionalitas jurnalistik. Karya warga yang dijadikan berita belum tentu semua bisa dijadikan sumber untuk mencari informasi alternatif, misalnya seperti blog. Blog, atau yang biasa digunakan oleh warga sebagai tempat pencurahan diri, catatan harian, atau sekaligus berbisnis perlu ditilik kembali jika akan dijadikan sumber berita, yaitu ditilik dari siapa pemilik dan penulisnya, serta dari sumber apa saja informasi dihimpun, sehingga untuk mengakses informasi dari situs-situs yang menyajikan citizen journalism, warga harus tetap melakukan seleksi, dan perlu juga adanya gatekeeper atau editor pada situs-situs tersebut. Sebaiknya editor tersebut memiliki ketrampilan juga di bidang jurnalistik. Hal inilah yang sempat meragukan blog sebagai salah satu media yang bisa masuk ke dalam media massa online atau tidak, karena kurang adanya pihak yang dapat bertanggungjawab pada kebenaran isi tulisan.

Di Indonesia, citizen journalism melalui internet juga belum bisa dikatakan tinggi karena jumlah blog yang berisi berita atau informasi untuk citizen journalism. Kurang terjangkaunya akses internet sampai ke pedalaman atau karena tingkat ekonomi yang kurang merata juga bisa menjadi penyebab kurangnya partisipasi warga dalam kegiatan citizen journalism.
Namun, karena citizen journalism adalah salah satu upaya pencerdasan warga agar berpikir kritis, maka seharusnya citizen journalism harus terus dikembangkan.

Seluruh masyarakat Indonesia seharusnya sudah mengenal kegiatan ini sebagai media massa alternatif yang lebih terbuka dan dekat dengan mereka. Apalagi saat ini media massa konvensional atau mainstream sepertinya telah condong komersil dan isinya setipe satu sama lain, sehingga citizen journalism bisa menjadi media penyegaran.Tetapi, citizen journalism sebagai media massa yang tidak biasa , harus tetap mendapat pengawasan atau kerjasama dengan jurnalis media massa resmi. Jurnalis dengan warga harus dapat menjalin hubungan yang baik agar sama-sama dapat menyampaikan informasi yang dibutuhkan masyarakat.(PA)

Putri Adityowati (210110080043)

JURNALISME ORANG BIASA YANG LUAR BIASA

Perkembangan teknologi memungkinkan siapa saja dapat memproduksi dan mengakses informasi. Inilah era yang disebut Alvin Toffler, seorang futurolog pada 1980-an, sebagai era prosumsi (produksi dan konsumsi). Publik atau masyarakat bisa menjadi produsen dan konsumen informasi sekaligus.

Mungkin masih terngiang di benak kita, betapa dahsyatnya tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2004 lalu. Saat itu, tsunami Aceh bisa kita saksikan berkat kemunculan rekaman video amatir yang dibuat beberapa warga Aceh. Rekaman tersebut dijual ke media massa elektronik dan akhirnya dipublikasikan kepada masyarakat. Pada saat itu, tak ada satu pun jurnalis profesional yang bisa menyampaikan informasi tersebut. Warga Acehlah yang bertindak sebagai jurnalis dan memperlihatkan kondisi Nanggroe Aceh Darussalam.

Kehadiran jurnalisme yang melibatkan warga ini menandakan bahwa aktivitas jurnalistik tidak hanya menjadi milik mereka yang berkecimpung di dunia media, tapi orang biasa pun bisa melakukannya. Fenomena jurnalisme yang dilakukan sendiri oleh warga ini disebut jurnalisme warga.

Jurnalisme warga adalah jurnalisme yang dikelola oleh warga. Dari warga, untuk siapa saja. Warga melakukan kegiatan jurnalistik seperti wartawan. Warga yang mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, data, grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Selain perkembangan teknologi informasi, jurnalisme warga diilhami pula oleh kekecewaan publik terhadap media mainstream yang mengalami kelunturan idealisme. Publik mulai mencium aroma kapitalisme di tubuh media mainstream. Publik merasa mesin kapitalisme telah menggerus idealisme media mainstream yang notabene menjunjung kebenaran.

Jurnalisme warga bisa diterapkan di media radio, televisi, cetak, maupun internet. Di radio, jurnalisme warga dapat dilihat pada laporan lalu lintas yang disampaikan warga. Di televisi, jurnalisme warga dapat dilihat dari video-video amatir yang dibuat warga tentang sebuah peristiwa. Di media cetak, jurnalisme warga bisa dilihat dari surat pembaca. Sementara di internet, jurnalisme warga dapat dilihat dari tulisan-tulisan warga di berbagai blog atau jejaring sosial.

Jurnalisme warga semakin berkembang di Indonesia. Ada beberapa indikator yang menunjukkan perkembangan tersebut. Di antaranya, dapat dilihat dari jumlah jurnalis warga kontributor radio Elshinta yang mencapai angka 100.000. Selain itu, Ketua Bidang Multimedia Persatuan Wartawan Indonesia, Priyambodo, mencatat paling tidak ada 1,2 juta blog di Indonesia dengan 700 ribu blogger.

Perkembangan jurnalisme warga ini dipengaruhi oleh kelebihannya yang luar biasa. Jurnalisme orang biasa ini, mampu membawa nilai berita bernama aktualitas. Nilai berita tersebut dapat dibawa warga karena warga dapat berada di lokasi kejadian atau merasakan langsung suatu kejadian atau peristiwa. Hal inilah yang menyebabkan warga dapat menyampaikan informasi terbaru ketimbang wartawan.

Mencermati perkembangan fenomena jurnalisme warga, Dewan Pers menilai bahwa gejala jurnalisme warga bisa menimbulkan persoalan tersendiri. Pada umumnya, warga yang menerapkan jurnalisme warga memerankan diri selaku jurnalis. Akan tetapi, sebagian besar warga tidak atau belum dibekali pengetahuan dan etika tentang jurnalisme. Akibatnya, jurnalisme warga berpotensi melahirkan informasi yang tidak berkualitas atau merugikan pihak lain.

Untuk mencegah lahirnya informasi yang tidak berkualitas tersebut, tentu diperlukan rambu -rambu yang perlu ditaati oleh setiap pelaku jurnalisme warga. Rambu-rambu tersebut adalah etika dan kode etik jurnalistik. Para pelaku jurnalisme warga tidak boleh menulis sebebas-bebasnya karena ada etika dan kode etik jurnalistik yang harus dipenuhi. Etika jurnalistik ini pada dasarnya menuntun warga untuk menyampaikan kebenaran semata sehingga bisa menyuarakan mereka yang tidak bisa bersuara.

Jurnalisme warga atau jurnalisme orang biasa hendaknya bisa menjaga spirit jurnalisme. Akurasi, integritas, kredibilitas, keseimbangan, dan profesionalitas adalah roh jurnalisme yang harus ada dalam diri pelaku jurnalisme orang biasa. Karena dengan demikian, jurnalisme orang biasa ini bisa menjadi oase di tengah gurun sahara krisis kredibilitas media massa mainstream.

Rikma Yulistiani
210110080094

Jurnalisme Publik Forum Pembentuk Masyarakat Cerdas

Ixora Tri Devi
210110080284

Beberapa waktu yang lalu, dalam rangkaian Ospek Jurnalistik Fikom Unpad 2009, panitia memberikan tugas untuk mengapresiasi buku Sembilan Elemen Jurnalisme yang ditulis oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dari penelesuran, ternyata sekarang sudah ada elemen kesepuluh dalam jurnalisme, yakni Warga Punya Hak dan Kewajiban terhadap Berita. Elemen ini sangat nampak implementasinya saat ini, ketika internet sudah masuk dalam aspek kehidupan masyarakat urban. Internet sudah menjadi kebutuhan yang nyaris primer. Banyak orang yang memiliki gadget untuk selalu mengakses internet, ini adalah pertanda betapa masyarakat addict terhadap internet. Dengan internet, masyarakat bagaikan memiliki medianya sendiri, tempat mereka dapat bertukar informasi, dan tidak melulu berharap akan menerima informasi dari media massa.
Adanya media-media rakyat ini diilhami oleh kekecewaan publik terhadap media mainstream yang ada sekarang. Tingkat kepercayaan publik terhadap media terus merosot, media mainstream dianggap sudah lemah dalam melakukan fungsi-fungsi sesungguhnya. Oleh karena itulah, publik membuat media mereka sendiri, sehingga terbentuk Jurnalisme Publik, atau Citizen Jurnalism. Adanya Jurnalisme Publik ini membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh masyarakat untuk menjalankan fungsi-fungsi jurnalistik, yakni to inform, to educte, dan to entertaint.
Sama halnya dengan perangkat lunak, ada yang merupakan perusahaan komersil, dan ada yang merupakan perusahaan open source. Jurnalisme Publik ini memiliki fungsi dan tujuan yang sama dengan perusahaan perangkat lunak open source, dapat digunakan oleh siapa saja, free of charge, dapat disebarluaskan seluas-luasnya, dapat dikutip, dan dapat diperbarui.
Blog adalah salah satu bentuk dari Jurnalisme Publik, walaupun tentu saja masih lebih banyak blog yang berisikan curahan hati empunya, daripada menuliskan hal-hal yang bermanfaat dan dapat berguna bagi para pembacanya. Lucunya, blog seperti ini justru lebih disenangi, tidak sedikit buku yang diterbitkan berdasarkan tulisan-tulisan pengarang dalam blognya, bahkan film yang berjudul Kambing Jantan dirilis setelah blog tersebut dijadikan buku yang ternyata mencatat best seller.
Jurnalisme Publik juga adalah wujud implementasi dari Demokorasi : dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tidak mengherankan bila Jurnalisme Publik di Indonesia lebih bergaung setelah tirani 32 tahun runtuh. Karena dimiliki sepenuhnya oleh rakyat, rakyat memiliki hak yang seluas-luasnya untuk menilai sebuah karya jurnalisme, mereka dapat setuju dan dapat tidak setuju. Jurnalisme Publik terbuka terhadap setiap pendapat dan pandangan, tentu saja kritik yang membangun akan sangat membantu.
Terakhir, masyarakat yang dikatakan siap untuk Jurnalisme Publik adalah masyarakat yang pintar, yang dapat menilai dengan bijaksana, apabila Indonesia sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat yang pintar, maka Jurnalisme Publik akan lebih efektif, dan tidak akan menimbulkan keresahan. Seperti kita ketahui, saat ini sangat banyak beredar informasi di internet. Terhadap media publik tersebut, kembali publik adalah subjek yang harus menilai.

Kode Etik Jurnalistik Bukan untuk Citizen Journalism

KURNIAWAN AGUNG WICAKSONO
210110080108

Citizen journalism adalah sebuah konsep jurnalistik yang menjadikan masyarakat sebagai objek sekaligus subjek berita. Dari sisi historis, hal ini bukan sesuatu yang menakjubkan dan mengherankan sebenarnya. Hal ini dikarenakan semua kegiatan jurnalistik sebenarnya bermula dari sebuah naluri. Naluri itu adalah naluri ingin tahu dan naluri ingin memberitahukan. Kedua naluri ini ada dalam diri manusia sejak lahir. Kemudian, berkembang menjadi sebuah hak asasi manusia (HAM) yang diakui secara universal. Hak tahu dan hak memberitahukan telah tersirat dan tersurat dalam beberapa undang-undang, antara lain: pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM), pasal 28F Undang-undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 4 ayat 3 Undang-undang Nomor 40/1999 tentang Pers (UUP), dan pasal 6 UUP. (Sahat Sahala Tua Saragih dalam artikel Wawancara (dalam Konteks Jurnalisme)) Karena keterbatasan tiap orang untuk mengaktualisasikan hak-hak tersebut, masyarakat menyerahkan mandat kepada wartawan untuk mengaktualisasikan hak tahu dan memberitahukan lewat media massa cetak, elektronik, dan online.
Di era sekarang, dengan pesatnya kemajuan teknologi, setiap orang bisa menyampaikan berita yang diperolehnya biasanya lewat blog dan jejaring sosial lewat internet. Dengan demikian, apakah setiap orang bisa dikatakan sebagai jurnalis? Menulis di blog misalnya, belum tentu berita yang ditulis merupakan sebuah fakta yang akurat dan benar. Bisa jadi tulisannya hanya berisi curahan hati atau hal-hal subjektif lainnya yang tidak sesuai dengan tugas pers atau jurnalis yang Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Walaupun demikian, menurut saya, peranan pers atau wartawan masih sangat dibutuhkan di era sekarang ini. Masyarakat menulis di blog atau jejaring sosial mana pun tetapi sebatas peranan mereka sebagai masyarakat. Sedangkan jurnalis, merupakan orang yang benar-benar punya kewajiban atas pekerjaannya mengungkapkan fakta baik fakta sosiologis maupun fakta psikologis dari suatu peristiwa atau permasalahan.
Walaupun tidak ada undang-undang yang menyebut masalah citizen journalism, tetap saja kebebasan itu tidak bisa dimanfaatkan seenaknya. Wimar Witoelar (seseorang yang ahli dalam hal blogging, komunikasi, media,dan jurnalistik) mengatakan, aturan itu diperlukan mengikuti gejalanya. Banyak orang bilang sedia payung sebelum hujan, tapi bagi dia, ngapain bawa payung kalau tidak ada gejala mau hujan? Wimar juga mengatakan untuk tidak membatasi blog. Hal yang menarik dalam citizen journalism adalah layaknya konsep demokrasi dari rakyat untuk rakyat, berita disampaikan oleh masyarakat dan dikembalikan ke masyarakat lagi.
Pada dasarnya kegiatan yang dilakukan dalam citizen journalism memang kegiatan jurnalistik pada umumnya, yaitu mencari, mengumpulkan, mengolah, dan menyampaikan informasi, berita atau realitas. Di sisi lain, jika dikaitkan dengan Kode Etik Jurnalistik, ada beberapa hal yang mungkin masih perlu dipertanyakan dalam konsep citizen journalism ini.
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran dan pendapat:
a.Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
Jika dikaitkan dengan suara hati, mungkin bisa saja jujur, tapi, tak jarang juga pendapat teman atau kerabat bisa memengaruhi tulisan, misalnya di blog.
b.Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
Kalau yang dilaporkan memang sesuai dengan keadaan aslinya, saya rasa tulisan itu bisa akurat.
c.Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
Hal ini kemungkinan tidak bisa sepenuhnya dilakukan karena orang cenderung menulis dengan hanya mendapat informasi dari satu sumber, tidak seperti para jurnalis sebenarnya yang bisa lebih mengekplor dan memperdalam informasi.
d.Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Hal ini juga kemungkinan akan dilanggar bila tulisan itu hanya curahan hati semata.

Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran:
Cara-cara yang profesional adalah:
a.menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b.menghormati hak privasi;
c.tidak menyuap;
d.menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e.rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
e.menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
f.tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
g.penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita
h.investigasi bagi kepentingan publik.
Menurut pendapat saya, pasal ini sebagian besar memang untuk jurnalis sejati.

Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan
pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang
keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca,
pendengar, dan atau pemirsa.

Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Intinya, menurut saya konsep citizen journalism itu memang sangat bagus untuk sama-sama mengontrol segala aspek kehidupan. Namun, para pelaku citizen journalism tidak bisa sepenuhnya disamakan dengan orang yang memang benar-benar profesinya jurnalis. Hal ini juga berdampak pada kode etik jurnalistik yang tidak akan bia sepenuhnya diterapkan pada pelaku citizen journalism. Orang yang profesinya sebagai jurnalis saja dewasa ini sudah banyak yang melanggar, apalagi bila ada kebijakan atau peraturan dengan penetapan kode etik jurnalistik untuk pelaku citizen journalism. Walau sebenarnya, untuk proses jurnalistik sampai pada khalayak seharusnya memenuhi dan menaati kode etik jurnalistik itu. Lalu, masih cocok tidak adanya citizen journalism di Indonesia?